Pengadilan Tinggi
Logo PENGADILAN TINGGI TANJUNGKARANG

Mahkamah Agung Republik Indonesia

PENGADILAN TINGGI TANJUNGKARANG

Jl. Cut Mutia No.42 Teluk Betung Utara, Bandar Lampung - Lampung 35214

Email : admin@pt-tanjungkarang.go.id | Telp. (0721) 481286 | Fax. (0721) 489821

Logo Artikel

800 PENGADILAN TINGGI TANJUNGKARANG MENGIKUTI WEBINAR BUDAYA KERJA YANG DIADAKAN OLEH MAHKAMAHA AGUNG RI

PENGADILAN TINGGI TANJUNGKARANG MENGIKUTI WEBINAR BUDAYA KERJA YANG DIADAKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG RI

webinar

Pengadilan Tinggi Tanjungkarang mengikuti Seminar Budaya Kerja dan Implementasi Tata Nilai Mahkamah Agung yang diadakan oleh Mahkamah Agung RI selama dua hari berturut-turut, yaitu pada hari Jumát - Sabtu, 28 - 29 Agustus 2020 bertempat di kantor Pengadilan Tinggi Tanjungkarang.

 Acara Webinar Budaya Kerja dan Implementasi Tata Nilai Mahkamah Agung didahalui dengan kata pengantar oleh Sekretaris MA Dr. A. S. Pujo Harsoyo, SH, MH selaku Ketua Panitia acara tersebut. Selanjutnya acara dibuka oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Jucial Dr. Soenarto, SH, MH. Acara Seminar tersebut berlangsung secara nasional dan diikuti masing-masing satuan kerja seluruh Indonesia secara on line via zoom.

Dalam pidato sambutannya Wakil Ketua MA Bidang Non-Jucial pada prinsipnya menyatakan bahwa semua pegawai di jajaran MA, khususnya Hakim harus mempunyai rasa cinta dan tanggung jawab serta dengan memperhatikan budaya kerja yang baik, benar dan konsisten di dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana aturan hukum dan aturan moral yang ada. Selaku aparat hukum, semua pegawai khususnya Hakim wajib punya kesadaran pribadi yang tinggi di dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya karena hal itu merupakan komitmen kita.

Beliau mewanti-wanti kepada semua aparat Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya untuk  meninggalkan budaya kerja dan perilaku yang tidak baik, karena sikap itu merupakan penyakit sosial dan institusional. Integritas, profesionalitas, kompetensi sumber daya manusia menjadi penting dan kata kunci di dalam penegakkan hukum dan keadilan di negeri tercinta ini.  Agar disadari pula bahwa tugas dan fungsi kita dalam bekerja adalah berbasiskan kinerja yang sudah jelas aturannya. Kita harus turut mewujudkan cita-cita berdirinya NKRI khususnya pada Alinea ke IV UUD 1945. Terhadap cita-cita luhur itu, MA RI sudah mencanangkan komitmennya sebagaimana dinyatakan dalam Bluprint MA RI pada tahun 2003, dan 2010.

Adapun yang bertindak sebagai pembicara utama pada acara seminar budaya kerja itu adalah DR. (HC) Ary Ginanjar Agustian (Founder ACT Consulting ESC Group). Pada pokoknya Ary menyatakan bahwa fokus acara ini adalah mengingatkan dan mebangkitkan ranah emosional-spiritual, kesadaran dan kecintaan dari semua individu insan peradilan untuk bekerja lebih baik lagi.  Ditekankan, bahwa budaya kerja yang baik dan benar adalah sesuatu hal yang amat penting, yang keberadaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi, terlebih pada dunia peradilan, sebagai benteng terakhir penjaga keadilan. Pada institusi peradilan peranan pokok dan tertinggi ada pada tangan seorang Hakim. Dari tangan Sang Hakim itulah nasib dan harga diri seseorang dipertaruhkan. Ingat dan sadari bahwa Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Terkait dengan budaya kerja, bahwa di sana ada dua aspek, yaitu aspek sistem dan aspek attitude. Aspek sistem ibaratnya sebagai tembok yang berfungsi membatasi dan melindungi lembaga yang bersangkutan, sedangkan aspek attitude adalah menyangkut person manusia berikut perilaku dan kepribadiannya. Sekokoh dan sebagus apapun tembok pengaman lembaga itu dibangun, jika perilaku manusianya tidak bagus, tidak punya rasa tanggung jawab niscaya tembok itu masih bisa juga dirongrong atau dilompati petugas itu sendiri, atau oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi.

Sebagai ilustrasi, oleh Ary digambarkan, perihal sistem pertahanan mental itu, yaitu dalam cerita Tiongkok kuno. Negeri Tiongkok saat itu mmembangun tembok raksasa sepanjang empat ribu kilometer guna melindungi dan menjaga pertahanan negaranya dari serbuan negara asing. Dalam setiap ruas tembok itu dibangun pos petugas untuk menjaga agar tidak ada satu pun musuh yang bisa masuk ke negara Tiongkok itu dan menhancurkannya. Puluhan, bahkan ratusan tahun negara itu aman dari gangguan musuh.

Singkat cerita, Negeri Tiongkok sempat hancur kala itu. Penyebabnya, karena salah satu penjaga di salah satu pos penjagaan itu berhasil digoda dengan iming-iming uang oleh pasukan musuh. Anehnya si penjaga itu tegoda dan menerima pemberian suapnya. Akhirnya negeri itu kemasukan ribuan pasukan musuh dari suku Man Tsu yang menyerbu pertahanan negeri Tiongkok. Penyebab kehancuran itu hanya satu, yaitu satu oknum penjaga tembok raksasa itu yang tidak amanah dan mau menerima suap dari musuh untuk kepentingan pribadinya. Berangkat dari kemungkinan perilaku yang seperti itulah, maka perlunya dibangun terus sistem nilai budaya kerja ini. Tujuannya untuk menciptakan kesadaran manusianya, bahwa tugas dan fungsi peradilan itu menegakkan hukum dan keadilan. Dan itu perlu komitmen moral kita.

Lebih lanjut Ari menambahkan bahwa di MA RI sendiri sudah dibentuk dan dibangun delapan pilar budaya kerja. Yaitu : kemandirian, integritas, kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidakberpihakan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dharmayukti (dharma atau perbuatan yang sejati atau agung) adalah fundasi dari lembaga peradilan Indonesia sendiri. Artinya, sebagai warga peradilan kita dituntut untuk mewujudkan pilar-pilar itu sebagai wujud dari dharma bhakti yang agung kita sebagai warga pengadilan kepada negara dan bangsanya.

Oleh Tim ESQ lalu dijabarkan masing-masing pilar tersebut, berikut yel-yelnya, lalu dipraktikkan bareng-bareng. Dan hal itu diminta untuk diingat terus dan dimasukkan dalam hati sanubari dan diaplikasikan dalam kinerja kesehariannya oleh siapapun warga pengadilan. Dan mengingat, bahwa hasil survei yang dilakukan oleh Tim ESQ ini bahwa tingkat kesehatan institusi MA saat ini menurut responden baru di kisaran 6,7, itu artinya tidak jelek-jelek amat namun juga tidak bagus-bagus banget. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan untuk menuju peradilan yang agung dan berwibawa.

Di sampaikan pula bahwa terdapat 5 tingkatan atau level ESQ Socio-Emotional seseorang dalam tindak dan perilakunya, termasuk dalam urusan pelayanan publik. Yaitu dari level 1 (yaitu pribadi yang masih seperti ketergantungandan kanak-kanakan, level 2 (pribadi yang masih amat egois mementingkan diri sendiri), level 3 (pribadi yang berbuat baik tetapi takut karena sistem yang ada, artinya bukan dari kesadaran), level 4 (pribadi yang penuh kesadaran dan apapun yang terjadi tidak menggoyahkan keimanannya, pribadi yang sudah seperti ini misalnya Hakim : Bismar Siregar, Jaksa: Baharuddin Lopa, Polisi: Hoegeng), dan level 5 adalah tingkatan yang tertinggi (yaitu pribadi yang rela mempertaruhkan jiwa, raga, hidupnya untuk pribadi yang merdeka dengan dirinya sendiri dan negara dan bangsanya tanpa unsur perasaan sakit hati dan dendam, tanpa pamrih, pribadi seperti ini misalnya Nelson Mandella). Yang dituntut oleh Negara, Bangsa, dan Agama kepada kita sebagai insan peradilan Indonesia adalah insan manusia yang mencapai level 4.

Dengan penuh semangat, pengahayatan, antusiasme; Tim telah menyentuh hati kepada semua insan peradilan dalam acara tersebut, dengan pendekatan metode ceramah dengan memotivasi serta mengetuk hati-nurani yang terdalam dengan diselingi quot-quot spiritual profetik (kenabian) yang inspiratif, yang diikuti segenap insan peradilan dengan penuh semangat dan antusiasme penuh penghayatan. Lalu suara-suara pesan Illahi itu melandai-menyentuh hati, menggugah jiwa alam bawah sadar kita hingga tanpa disadari meneteskan airmata. Dari sana lalu dipanjatkan doa dan semacam janji jiwa untuk memperbaiki diri di sisa-sisa hidupnya, yang pada saatnya akan dibawa kehadhirat Illahi sebagai pertanggungjawaban pribadi ke haribaannya.  S e m o g a . . .


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas